1.1. Latar Belakang
Paradigma pembangunan
paska reformasi berkembang dengan dinamis. Diantaranya, dampak krisis ekonomi
tahun 1998 telah melahirkan kebijakan pembangunan ekonomi masyarakat
berpenghasilan rendah berbasiskan pemberdayaan dengan memberikan dana bantuan
langsung kepada masyarakat secara bergulir. Kebijakan ini kemudian melahirkan
banyak lembaga keuangan di pedesaan dengan berbagai ragam model dan
pembinaannya, namun satu kesamaan tujuan, yakni untuk kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, Surat Mendagri kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, No :
412.2/3883.SJ, tahun 2009 perihal Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM), mengamanatkan untuk melakukan persiapan dan memfasiltasi LKM yang belum
berbadan hukum guna berafiliasi kepada LKM yang mempunyai payung hukum, yakni
BPR, Koperasi atau BUMDes.
Penelitian menunjukkan
bahwa besaran dana
bantuan langsung kepada masyarakat secara bergulir melalui berbagai Kementerian
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam APBN dan APBD sampai dengan
tahun 2010 secara nasional telah mencapai Rp.300,94 triliun namun tidak semuanya
sustainabel. Karakteristik
kelembagaan LKM, bahwa dana bantuan langsung sebelum tahun
2001 masih terkelola oleh institusi pembina dengan aturan yang beragam; wilayah
kerja beragam tergantung besaran bantuan dan jumlah penerima manfaat, yakni
wilayah kerja antar Rukun Tetangga, tingkat Desa dan Kecamatan; permodalannya
berasal dari dana bantuan langsung bergulir APBN dan APBD; pengelolanya
sebagian besar adalah relawan yang tidak mendapat honor. Akumulasi angsuran ada
yang terkelola oleh pengurus, bank dan SKPD penanggung jawab kegiatan.
Sustainabilitasnya dipengaruhi
oleh komitmen penerima manfaat, pembinaan dan pengawasan SKPD, terutama pada
pasca program, keterlibatan perangkat Rukun Tetangga (RT), Perangkat Desa dan
tokoh kunci masyarakat setempat. Afiliasi
kelembagaan cenderung kepada koperasi dan BUMDes,
sedangkan untuk LKM dengan wilayah kerja tingkat Kecamatan memilih tetap
seperti semula (PNPM MD). Model
LKM sebagai bentuk Integrated
Micro Finance yang efektif, efisien dan sustainabel adalah Model
LKM yang berorientasi pada pemberdayaan dengan bentuk Perusahaan Desa dan Model
LKM yang berorientasi pada bisnis produk unggulan berbasis klaster
berbentuk koperasi. Strategi pengembangannya dengan pemberdayaan dan orientasi
keterkaitan ke belakang dan ke depan (backward
and forward lingkages).
Untuk mencapai hal di
atas, diperlukan regulasi dengan Peraturan Daerah, minimal Peraturan Kepala
Daerah agar dana bantuan langsung secara bergulir dari Kementerian atau SKPD
terintegrasi dalam satu lembaga keuangan mikro (Integrated Micro Finance)
pada tingkat wilayah kerjanya.
1.2. Pengertian
LKM
Dalam
Ledgerwood (et.all), Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atau
lebih populerdisebut microfinance
institution didefinisikan sebagai
“Penyedia Jasa Keuangan” bagi pengusaha kecil dan
mikro serta berfungsi sebagai “alat pembangunan bagi
masyarakat pedesaan”.
Menurut
Microcredit Sumit (1997)
yang berlanjut pada Microcredit Summit di New
York tahun 2002, kredit mikro adalah “Program”
pemberian kredit berjumlah kecil
ke warga paling
miskin untuk membiayai proyek yang mereka kerjakan
sendiri agar menghasilkan pendapatan yang memugkinkan mereka peduli
terhadap diri sendiri
dan keluarganya, (Anonimous, kompas, “Microcredit Summit”, 15Maret 2005).
Dalam
Draft UU Nomor XXX Tahun 2007 tentang Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan
bahwa Lembaga Keuangan Mikro sebagai “Badan Usaha Keuangan” yang
menyediakan layanan “Jasa Keuangan Mikro”, tidak berbentuk
bank, koperasi, serta bukan pegadaian tetapi termasuk
Badan Kredit Desa (BKD) dan Lembaga Dana
Kredit Pedesaan (LKPD) yang tidak memenuhi persyaraan sebagai
bank, selanjutnya disebut sebagai LKM Bukan Bank Bukan Koperasi
(LKB B3K) atau selanjutnya disingkat LKM.
Tohari (2003),
LKM adalah lembaga yang memberikan “Jasa Keuangan” bagi pengusaha mikro dan
masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi
formal, dan informal yang tidak terlayani oleh lembaga
keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk
tujuan bisnis.
Keputusan
Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri,
Menteri Negara Koperasi
dan UKM, Gubernur Bank Indonesia Nomor : 351.1 / KMK.010 / 2009,
Nomor : 900-639A TAHUN 2009, Nomor :
01/SKB/M.KUKM/IX/2009, Nomor : 11 / 43A / KEP.GBI /2009 tentang Strategi Pengembangan
Lembaga Keuangan Mikro bahwa “Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah
LKM yang belum berbadan hukum, dibentuk atas inisiatif Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan/atau masyarakat seperti Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP),
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Lumbung Pitih
Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kelompok
Usaha Bersama (KUBE), kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan
Nelayan Kecil (P4K), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan,
kelompok Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola
Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera
(UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM),
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan/atau lembaga lainnya yang dipersamakan dengan
itu”.
Lembaga Keuangan Desa (LKD) adalah lembaga yang ditumbuhkan oleh
kelompok-kelompok afinitas untuk mengelola keuangan sebagai modal usaha
produktif pedesaan
Berdasarkan
definisi tersebut maka LKM dalam hal ini adalah Lembaga Keuangan Desa (LKD) berfungsi
sebagai lembaga yang menyediakan jasa pinjaman untuk
kegiatan produktif yang dilakukan keluarga masyarakat
miskin di desa mandiri pangan atau desa afinitas penerima bantuan dana.
Sebagai lembaga simpanan, LKD dapat menghimpun dana (saving) yang dijadikan prasyarat bagi adanya
pinjaman.
Jadi, Lembaga Keuangan Desa fungsinya adalah selain
menghimpun dana juga memberikan pinjaman mikro yang dapat digunakan
membantu masyarakat miskin dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan
usaha produktif. Dilihat dari aspek pendapatan lebih mendekati
kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin namun mendekati
memiliki kegiatan ekonomi (economically
active working poor) dan masyarakat berpenghasilan rendah
(lower income).
1.3. Tujuan
Tujuan Lembaga
Keuangan Desa adalah :
1. Meningkatkan
taraf hidup masyarakat usaha mikro dan kecil melalui pendampingan dan fasilitasi kegiatan usaha ekonomi
produktif.
2. Membentuk
dan membuka peluang usaha mandiri dalam wadah Kelompok Usaha Masyarakat
(POKUSMA) bagi masyarakat petani dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga.
3. Menyediakan
layanan keuangan bagi masyarakat yang selama ini tidak tersentuh oleh perbankan
melalui pendirian LKD sebagai wadah layanan dana bergulir bagi POKUSMA .
4. Menghilangkan
exploitasi para rentenir melalui pendirian LKD dan mendampingi masyarakat
miskin untuk pengembangan UEP (Unit Ekonomi Produktif) agar memiliki
ketrampilan mengembangkan UEP sehingga mampu melaksanakan peran dan fungsi
sosial dan ekonominya dengan baik.
1.4. Sasaran dan Keluaran.
Sasaran LKD adalah terdampinginya
usaha mikro/kecil masyarakat binaan dalam mengakses permodalan melalui
perguliran modal di Lembaga Keuangan Desa yang diinisiasi, didirikan, dimiliki
dan dikelola masyarakat setempat.
Keluaran
(output) terbentuknya Lembaga Keuangan Desa adalah:
1. Mampu
membiayai usahanya sendiri dikelola dengan penuh waktu, bukan pekerjaan
sambilan .
2. Adanya
fasilitasi pendampingan dan pelatihan berjenjang dilengkapi modul-modul
aplikatif
3. Produk
simpanan dan pembiayaan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
4. Menerapkan
sistem, prosedur, administrasi dan akuntansi standar lembaga keuangan yg dirancang
sedemikian rupa sehingga sederhana, efisien dan efektif.
5. Pengelolaan
dan laporan keuangan secara terbuka
6. Dimiliki
dan dikelola oleh masyarakat setempat sehingga tumbuh rasa memiliki dan
tanggung jawab
7. Mampu
meningkatkan aset dan menghasilkan laba sehingga tumbuh dan berkembang.
II. LKD DALAM PERMODALAN PERTANIAN
Salah satu
permasalahan utama pengembangan usaha di bidang pertanian di Indonesia adalah
masalah permodalan. Masalah permodalan dan pembiayaan usaha di bidang pertanian
tersebut mempunyai cerita yang panjang sejalan upaya pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
Berbagai program
terobosan telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain: 1) Proyek Peningkatan
Pendapatan Petani (Departemen Pertanian), 2) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang
dibina oleh Departemen Sosial, 3) Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
Sejahtera (UUPKS), binaan BKKBN, 4) Program Penguatan UKM yang dilaksanakan
oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dan 5) dan program-program
pemberdayaan masyarakat dengan berbagai bentuk dan strateginya. Semua program
tersebut dimaksudkan untuk memberikan penguatan permodalan kepada masyarakat
miskin (kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses modal/kredit perbankan).
Suatu kemajuan
yang telah dicapai dari segi regulasi dan peraturan perundang-udangan adalah
telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah. Dimana kegiatan usaha ekonomi produktif terutama usaha
mikro, usaha kecil dan menengah telah diberi tempat yang layak. Berdasarkan
undang-undang tersebut kerangka pemberdayaan masyarakat melalui usaha mikro,
kecil dan menengah antara lain dapat dilakukan dengan penguatan permodalan,
kelembagaan dan sumber daya manusia, pemasaran, produksi dan pengolahan maupun
desain dan teknologi.
Dalam prakteknya
kelompok usaha ini dalam konteks pemberian pinjaman kredit secara nasional
masih belum diberi tempat yang layak. Kelompok usaha ini (usaha mikro, usaha
kecil dan usaha menengah) hanya memperoleh akses kurang dari 25% kucuran
pemberian pinjaman yang diberikan dalam sistem perkreditan nasional.
Proporsi akses terhadap perkreditan nasional tersebut akan semakin kecil tidak
lebih dari 10% jika dilihat dari segi bidang usaha pertanian.
Kehadiran
perbaikan bentuk skim kredit atau program pemberdayaan dan strategi
penanggulangan kemiskinan nasional dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan
permodalan (dana bergulir) atau dalam bentuk program kemitraan dan bina
lingkungan (PKBL) BUMN merupakan program jangka pendek yang sering terkait
orientasi politik.
Para pelaku usaha
dalam kelompok usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah memerlukan suatu
sistem pendanaan permodalan yang terintegrasi dengan sistem perbankan dan
moneter nasional, baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan bank maupun lembaga
keuangan bukan bank. Oleh sebab itu, RUU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan
suatu prasyarat pengembangan usaha ini.
Dalam praktek
pengelolaan dana pinjaman di Indonesia, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
hanya memperoleh akses terhadap lembaga keuangan formal sebesar 12%.
Rendahnya akses terhadap kredit perbankan antara lain dikarenakan: 1) skim kredit dan produk bank tidak sesuai
dengan kebutuhan usaha mikro, kecil, dan menengah, 2) Anggapan besarnya resiko
kredit UMKM, 3) UMKM tidak memiliki agunan yang dipersyaratkan perbankan.
Pengembangan Lembaga
Kredit Desa (LKD) dalam permodalan pertanian diarahkan untuk meningkatkan akses
kelompok marginal terhadap dana pinjaman. Oleh sebab itu skema kredit dalam
layanan lembaga kredit mikro harus berbasis komunitas yang diarahkan untuk
mengurangi disparitas akses perkreditan nasional.
Penggunaan skema
keuangan mikro berbasis komunitas perlu dikembangkan karena: 1) dapat
mengembangkan kerangka kebijakan untuk memberdayakan masyarakat, 2) mendorong
upaya kemandirian, 3) meningkatkan jaringan komunitas. Selanjutnya manfaat dari
pengembangan skema pembiayaan tersebut adalah: 1) menyediakan pelayanan
permodalan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, 2) menawarkan kredit kepada
kelompok masyarakat miskin, 3) disesuaikan dengan kesepakatan yang dibuat
bersama, 4) menggunakan proses pemberdayaan untuk meningkatkan harga diri, 5)
mengembangkan inisiatif sendiri dan keberlanjutan untuk maju dan berkembang.
Pengalaman Koperasi Unit Desa (KUD) yang tidak terpola dalam
suatu desain bisnis usaha yang terpola harus diganti dengan desain bisnis yang
terpola dan membentuk unit bisnis yang seragam mengelompok, seperti: usaha
perunggasan, usaha penggemukan sapi, dan lain-lain, sesuai dengan potensi
daerah dan kompetensi petaninya. Untuk pengembangan usaha yang memerlukan
pembiayaan permodalan, dikembangkan dalam kerangka usaha secara berjenjang dan
terpola. Pengalaman dan pengembangan usaha dengan desain koperasi seperti ini
dapat dipelajari dari contoh baik (best
practice) yang dikembangkan di Kanada, Jerman, India dan Korea.
III. PENGEMBANGAN
MANAJEMEN LKD
Keuangan
mikro telah menjadi topik pembicaraan yang luas, baik di tingkat nasional
maupun global, karena perannya yang tidak terlepas dari upaya-upaya pengentasan
kemiskinan. Penyediaan keuangan mikro dinilai merupakan salah satu pendekatan
yang efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Keuangan mikro
telah memberikan terobosan dalam memberikan akses keuangan bagi penduduk miskin
dan para pengusaha mikro, yang umumnya dianggap tidak bankable jika diukur dari persyaratan
teknis Bank konvensional.
Tersedianya
akses pembiayaan, termasuk juga jasa keuangan lainnya, seperti simpanan,
transfer dana dan lain-lain, telah memungkinkan penduduk berpenghasilan rendah
tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi produktif dan mengembangkan
kapasitas usahanya secara berkesinambungan sehingga pada gilirannya dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidup mereka.
Dalam
rangka mencapai harapan tersebut Lembaga Keuangan Desa harus melakukan penataan
teknik operasional dan manajemen sebagai berkut:
1. Organisasi yang
efisien, akuntabel dan padat karya;
2. Sistem akuntansi
dan pelaporan yang sederhana serta transparan;
3. Pendampingan dan
pelatihan bagi pengelola yang memadai dan pemberian insentif berdasarkan
kinerja (performace based);
4. Desentralisasi
wewenang dalam keputusan pemberian pinjaman;
5. Pengawasan yang
rutin dan teliti;
6. Penyelenggaraan
administrasi yang rapi, baik administrasi umum maupun administrasi keuangan;
7. Penetapan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) hasil kesepakatan bersama;
Apapun struktur
organisasinya, sebuah Lembaga Keuangan Desa yang berkesinambungan harus
memiliki berbagai unsur tersebut.
3.1.
Struktur Organisasi.
Secara organisatoris Lembaga
Keuangan Desa (LKD) adalah lembaga yang bentuk oleh masyarakat dan ditunjuk
oleh kelompok Desa Mandiri Pangan (Demapan) atau kelompok afinitas pada desa
penerima bantuan langsung masyarakat sebagai lembaga yang mengelola dana
bantuan tersebut. Dengan demikian maka LKD bertanggung jawab kepada kelompok
Demapan atau kelompok afinitas di desa tersebut. Sebagai pemberi wewenang,
kelompok Demapan atau afinitas berhak untuk melakukan pengawasan pelaksanaan
kegiatan serta melakukan audit atas aktivitas keuangan yang dilaksanakan oleh
LKD.
3.2.
Tugas Pokok Pengurus LKD
Pengurus
Lembaga Keuangan Desa terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Menejer dan
Ketua Unit Usaha.
Uraian
tugas pokok pengurus adalah sebagai berikut :
1. KETUA
1) Bertanggungjawab atas aktivitas LKD
dan melaporkan perkembangan kegiatan
kepada seluruh anggota dan kelompok afinitas melalui mekanisme rapat
yang disepakati.
2) Melakukan pengawasan internal dan
pertemuan bulananan/triwulan /semester untuk membahas capaian target LKD serta
kendala-kendala yang dihadapi.
3)
Memberikan masukan kepada menejer
mengenai strategi-strategi yang dapat dikembangkan dalam pengembangan usaha.
4)
Membantu menejer dalam melakukan
evaluasi dan menyusun perencanaan.
5)
Menyelenggarakan rapat anggota dan
melaporkan perkembangan LKD secara periodik (triwulan/semester/tahunan) kepada
anggota dan kelompok afinitas.
6)
Mengajukan rencana kerja dan
anggaran pendapatan/ belanja LKD pada musyawarah anggota.
7)
Mengatur dan melakukan segala
tindakan-tindakan dalam rangka menjaga dan melindungi kekayaan LKD.
8)
Menjalin kerjasama dengan
pihak-pihak luar dalam rangka mengembangkan usaha LKD.
9)
Bersama Kelompok afinitas melakukan
evaluasi kegiatan LKD semesteran dan tahunan.
2. SEKRETARIS
1)
Mengadministrasikan seluruh berkas
yang menyangkut keangotaan lembaga.
2)
Mengadministrasikan semua surat
masuk dan keluar yang berkaitan dengan aktivitas lembaga.
3)
Mengadministrasikan dokumen lembaga
yang sifatnya permanen, seperti akte pendirian.
4)
Merencanakan rapat rutin koordinasi
dan evaluasi kegiatan lembaga.
5)
Menyusun kalender kerja lembaga
bersama ketua dan bendahara.
6)
Mendokumentasikan notulasi dan
mendistribusikan kepada seluruh pihak yang berkepentingan.
3. BENDAHARA
1)
Mengeluarkan laporan keuangan
lembaga kepada pihak yang berkepentingan.
2)
Melakukan analisis dan memberikan
masukan pada rapat pengurus mengenai
perkembangan lembaga dari hasil laporan keuangan yang ada.
3)
Memberikan laporan mengenai
perkembangan simpanan wajib dan simpanan pokok anggota.
4)
Mendata ulang anggota yang masih
belum melunasi kewajibannya dalam menyetor simpanan pokok dan simpanan wajib.
5)
Melakukan koordinasi dengan
sekretaris bila diperlukan mengenai kondisi anggota.
4. MENEJER
1)
Tersusunnya sasaran, rencana jangka
pendek, rencana jangka panjang, serta proyeksi keuangan dan non keuangan
2)
Menyusun rencana anggaran jangka
pendek dan jangka panjang.
3)
Mempresentasikan rencana jangka
pendek dan jangka panjang kepada Pengurus, dan anggota LKD.
Memberikan arahan /masukan kepada Ketua Unit Usaha dalam upaya pengembangan kegiatan unit usaha.
Memberikan arahan /masukan kepada Ketua Unit Usaha dalam upaya pengembangan kegiatan unit usaha.
4)
Mengevaluasi seluruh aktivitas unit
usaha.
5)
Menindaklanjuti hasil evaluasi.
6)
Menemukan dan menentukan
strategi-strategi baru dalam upaya pengembangan kegiatan unit usaha.
7)
Menjalin kerjasama dengan pihak lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan lembaga.
8)
Mencari peluang dan membuka
kerjasama dengan pihak lain (lembaga/ perorangan) yang dapat secara langsung
ataupun tidak langsung memenuhi kebutuhan lembaga.
9)
Menjaga keamanan dana-dana dan
pembiayaan yang diberikan serta seluruh asset lembaga
10) Mengupayakan
terjaganya likuiditas dengan mengatur manajemen dana seoptimal mungkin hingga
tidak terjadi kekosongan kas.
11) Mengupayakan
strategi-strategi khusus dalam penghimpunan dana dan penyaluran dana.
12) Mengupayakan
strategi-strategi baru dan handal dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah.
5. KETUA
BIDANG USAHA
1)
Pemeriksaaan berkas Rencana Usaha
Anggota yang diajukan oleh calon penerima pinjaman.
2)
Melakukan pengawasan terhadap
kegiatan anggota yang dibiayai dari dana bidang usahanya.
3)
Menerbitkan laporan perkembangan
pembiayaan dalam bidang usahanya.
4)
Memeriksa tingkat kelancaran
pembiayaan, dan laporan mengenai
mitra-mitra yang bermasalah.
5)
Menyelesaikan pembiayaan bermasalah
6)
Membuat dan mengirimkan laporan
keuangan bidang usahanya atas persetujuan manager kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
7)
Tearsipkannya seluruh dokumen-dokumen
keuangan bidang usahanya.
3.3.
Pendampingan dan Pelatihan.
Untuk meningkatkan profesionalisme
pengurus LKD dalam rangka menggerakkan roda organisasi, maka pendampingan dan
pelatihan adalah merupakan kebutuhan mutlak. Pendampingan dilakukan oleh pendamping
formal yang telah ditunjuk yaitu Penyuluh Pertanian yang ditugaskan di desa
setempat.
Penyuluh pendamping sebaiknya
menyiapkan kebutuhan materi pendampingan dan pelatihan. Penetapan materi
pendampingan dan pelatihan didasarkan atas kebutuhan sasaran yaitu dengan
membandingkan kondisi ideal yang diharapkan dengan kondisi riil yang dimiliki
untuk setiap indikator.
Untuk memudahkan pendamping
sebaiknya memasukkan kedalam matriks seperti contoh di bawah ini.
No
|
Indikator
|
Kondisi
Ideal
|
Kondisi
Riil
|
Kebutuhan
Materi
|
Metoda
|
1
|
Kepengurusan
a.Struktur organisasi
b.Tugas pokok
c.Dsb
|
|
|
|
Pendampingan
|
2
|
Penerapan AD/ART
a. Keanggotaan
b. Penerapan sanksi hukum
c. Dsb.
|
|
|
|
Pendampingan
|
3
|
Pengelolaan Dana
a. Penarikan dana
b. Penggunaan dana
c. Pengembalian dana
|
|
|
|
Pelatihan
|
4
|
Penyelenggaraan administrasi
a. Administrasi umum
b. Administrasi keuangan
|
|
|
|
Pendampingan
|
5
|
Perencanaan usaha
a.Rencana usaha anggota
b.Dsb.
|
|
|
|
Pendampingan
|
6
|
Pelaporan
|
|
|
|
Pendampingan
|
7
|
Dsb.
|
|
|
|
|
3.4.
Pengawasan.
Sebagai lembaga yang
ditunjuk/diberi wewenang, maka LKD bertangung jawab kepada kelompok yang
menunjuk yaitu kelompok Demapan/afinitas. Kelompok Demapan/afinitas mempunyai
wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap LKD. Selain oleh kelompok
Demapan/afinitas, pengawasan juga dilakukan oleh Kepala Desa dan tokoh formal
desa lainnya. Pengawasan dapat dilakukan secara berkala/rutin atau insidentil
disesuaikan dengan kebutuhan.
Unsur-unsur pengawasan antara lain
:
a. Penerapan aturan main organisasi yang tertuang dalam AD/ART;
b. Arus penarikan, penggunaan dan pengembalian dana;
c. Penyelenggaraan administrasi.
3.5.
Penyelenggaraan Administrasi.
Administrasi merupakan unsur
organisasi yang sangat penting yang dapat menggambarkan eksistensi suatu
organisasi. Mengingat pentingnya penyelengaraan administrasi bagi suatu
organisasi, maka penataan administrasi LKD merupakan hal yang mutlak untuk
dilaksanakan, baik administrasi umum maupun administrasi keuangan.
Langkah-langkah penataan
administrasi adalah (1) menginventarisir jenis-jenis administrasi yang
diperlukan, (2) pengadaan buku-buku/alat administrasi, (3) bimbingan teknik
pengisian oleh pendamping, (4) pengisian buku-buku sesuai dengan kebutuhan
untuk masing-masing jenis buku administrasi.
3.6.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART) adalah aturan main suatu organisasi. AD/ART yang baik adalah
yang mampu mengatur semua unsur organisasi beserta kegiatannya. Hal-hal pokok
yang harus dimuat dalam AD/ART Lembaga Keuangan Desa antara lain :
1) Nama dan Tempat Kedudukan
2) Azas dan Tujuan
3) Visi dan Misi
4) Kegiatan
5) Kepengurusan
6) Keanggotaan
7) Pengawas
8) Pembiayaan
IV. PENUTUP
Materi ini disusun selain untuk
disajikan pada latihan Mikro pada kegiatan “Pengembangan Ketersediaan dan
Penanganan Rawan Pangan” program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan
Masyarakat, tetapi juga diharapkan akan membantu para pengurus LKD, kelompok
Demapan/afinitas, pada pendamping dan penanggung jawab kegiatan dalam
menetapkan pola pengembangan LKD di Kabupaten Aceh Besar dimasa mendatang.
Dengan tersusunnya pola
pengembangan LKD di Kabupaten Aceh Besar, akan menjadi acuan bagi semua pihak
yang terlibat dalam rangka merancang dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan
tugasnya masing-masing.